Kisah Menarik Tentang Habibie Dan Ainun

Minggu, 24 Februari 20130 komentar




Menjelang pergantian tahun 2012, air mata berderai di berbagai bioskop tanah air. Kerinduan akan sebuah tayangan yang mengaduk emosi akhirnya terbayar melalui film Habibie & Ainun. Film yang bercerita tentang kisah cinta BJ Habibie dan Ainun Habibie membuat banyak orang, khususnya wanita, ingin memiliki kisah cinta yang sama, atau setidaknya, sebuah cinta sejati yang luar biasa.
Film Habibie & Ainun dimulai ketika mereka berjumpa pertama kali di masa sekolah. Sejak awal, keduanya digambarkan sebagai siswa siswi cerdas yang oleh para guru ‘diramalkan’ berjodoh. Hanya saja, jiwa muda Habibie belum menemukan sisi cantik dan keteguhan hati seorang Ainun. Bahkan, Habibie mengatakan bahwa Ainun jelek, gendut, hitam.. seperti gula jawa. Sebuah ejekan manis dan sukses membuat banyak penonton tersenyum.
Gula jawaku sudah berubah jadi gula pasir
Waktu bergulir, keduanya melanjutkan sekolah di tempat yang berbeda. Habibie mengambil ilmu teknik mesin, sedangkan Ainun mengambil ilmu kedokteran. Takdir mempertemukan mereka kembali. Ainun yang dulu dikatakan seperti gula jawa, telah memancarkan aura gadis cerdas, teguh dan cantik. Habibie meralat kata-katanya dulu, Ainun tidak lagi menjadi gula jawa, tetapi gula pasir yang murni dan manis.
Sebagai gadis yang cerdas dan cantik, banyak pria yang mengantri untuk mengambil hati Ainun. Habibie yang pada waktu muda bukan siapa-siapa (bahkan dicap miskin) tetap percaya pada hatinya bahwa Ainun adalah gadis yang akan menjadi pendampingnya. Walau teman-temannya pesimis akan sikap Habibie, Habibie yakin bahwa jodoh sudah ada yang mengatur. Dengan logika ilmu teknik yang dimiliki, Habibie berpendapat
“Mau ganteng atau tidak, kalau hatinya tidak satu frekuensi, bagaimana?”
– BJ Habibie dalam film Habibie & Ainun


Saya akan menjadi suami yang terbaik untuk Ainun..
Sekali lagi, garis jodoh menunjukkan bahwa ‘frekuensi’ Habibie dan Ainun berada pada jalur yang sama dan cocok. Tidak perlu waktu lama hingga Habibie menyatakan rasa suka dan keseriusannya untuk menikah dan membawa Ainun tinggal bersama di Jerman, untuk mendampingi Habibie menyelesaikan sekolah dan impiannya membuat pesawat terbang Indonesia. Inilah kata-kata manis yang membuat Ainun mantap menjatuhkan hatinya pada Habibie.
“Saya tidak bisa menjanjikan banyak hal. Saya tidak tahu apakah hidup kita di Jerman akan sulit atau tidak, apakah Ainun tetap bisa menjadi dokter atau tidak. Tapi yang jelas, saya akan menjadi suami yang terbaik untuk Ainun.”
Mereka berdua akhirnya menikah pada tanggal 12 Mei 1962. Habibie langsung memboyong Ainun untuk tinggal bersamanya di Jerman. Tempat yang jauh dari Indonesia, tempat dimana mereka mulai berjuang membangun sebuah keluarga.
Saya dan Ainun adalah dua raga tetapi dalam satu jiwa
Tinggal di negara orang lain menjadi sebuah perjuangan yang berat. Habibie dan Ainun mengalami masa-masa yang berat, tetapi mereka saling menguatkan, saling menopang. Hingga sedikit demi sedikit, kehidupan mereka semakin baik. Kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan kehadiran dua buah hati yang menggemaskan. Saat anak-anak mereka sudah bisa dititipkan pada pengasuh, Ainun kembali rindu untuk menolong orang lain. Dengan izin Habibie, Ainun membuka praktik sebagai dokter anak.
Di sinilah keteguhan seorang istri dan ibu dipertaruhkan. Saat Habibie mulai merakit mimpi-mimpinya, Ainun berada dalam titik penentuan. Di saat Ainun menolong banyak anak dan menyembuhkan mereka dari sakit, justru putranya mengalami sakit. Hal itu membuat pemikiran Ainun berubah. Akhirnya wanita yang lemah lembut ini menanggalkan jubah dokter untuk mengabdi sepenuhnya untuk suami dan buah hati mereka.
Saat Habibie kembali ke Indonesia untuk mewujudkan mimpinya membuat pesawat terbang, Ainun selalu setia mendampingi dan menguatkan suaminya. Juga saat Habibie masuk dalam dunia politik yang penuh godaan uang dan perempuan muda yang cantik, kedua tetap memperjuangkan kesetiaan akan cinta dan pengabdian untuk negara. Ainun tidak pernah lupa menyiapkan obat untuk sang suami, dengan kenyataan bahwa dia sendiri sudah divonis memiliki kanker ovarium. Ainun merahasiakan hal itu dari suaminya, dengan harapan agar Habibie tetap fokus mengemban tugasnya yang semakin berat.
Selamat jalan sayang..
Sedikit demi sedikit, kanker yang diderita Ainun menggerogoti tubuhnya. Habibie akhirnya mengetahui beban berat yang ditanggung Ainun. Berkali-kali operasi dilakukan, bahkan dengan alat kedokteran terbaru di Jerman, tetapi kondisi Ainun tidak kunjung membaik. Bagi Habibie, dia harus memperjuangkan kehidupan Ainun, karena sang istri telah banyak berkorban untuknya. Sesungguhnya, jauh di lubuk hati Ainun, dia tidak pernah merasa dikorbankan, dia tulus mendampingi Habibie dan menjadi istri yang setia, seperti janjinya dahulu sebelum menikah.
Takdir membuat Habibie dan Ainun berpisah. Air mata tidak cukup untuk menunjukkan bagaimana seorang Habibie yang kuat dan tegar harus kehilangan wanita yang sangat dia cintai, wanita tegar yang selalu mendampinginya, wanita yang masih memikirkan kesehatan Habibie disaat dia harus berjuang dengan kanker yang menggerogoti tubuhnya.
Sebuah kisah cinta dan kesetiaan yang membuat banyak wanita ingin memiliki kisah cinta yang sama. Seperti itulah seharusnya seorang pria, seorang suami, dan seperti itulah seharusnya seorang wanita, seorang istri. Saling menopang, saling menjaga, saling mencinta dan setia dalam kemesraan yang manis.
Share this article :
 
Support : Zv-eLite | TipSeoFriendly | Top Five
Copyright © 2011. TOP FIVE - All Rights Reserved
Template Created by Zv-eLite .com Published by Septa Praseya Hanafi
Proudly powered by Blogger