Dr. BJ. Habibie dalam Habibie dan Ainun:
“Saat itu pula pikiran saya melayang membawa saya ke Aachen (red: sebuah kota di Jerman). Yaitu, ketika saya terbaring sakit di sebuah rumah sakit di kota itu. Kala itu saya adalah mahasiswa berusia 21 tahun. Hidup di rantau dalam kondisi sakit parah, dan harapan hidup yang menipis.
“Saat itu pula pikiran saya melayang membawa saya ke Aachen (red: sebuah kota di Jerman). Yaitu, ketika saya terbaring sakit di sebuah rumah sakit di kota itu. Kala itu saya adalah mahasiswa berusia 21 tahun. Hidup di rantau dalam kondisi sakit parah, dan harapan hidup yang menipis.
Dalam suasana tanpa kepastian hidup itulah muncul sesuatu bagaikan sebuah mukjizat dalam diri saya. Sebuah semangat yang bergelora dalam diri saya untuk bisa tampil mempersembahkan pengabdian kepada Ibu Pertiwi. Tapi apa bisa? Dan bagaimana? Sebab saya tak berdaya, terbaring di rumah sakit. Namun, saya tiba-tiba tergerak untuk menyampaikan sumpah yang saya tulis dalam sebuah puisi, yang berjudul “Sumpahku”.
Sumpah inilah yang telah memotivasi saya. Saya ingin mempersembahkan sesuatu kepada Tanah Air tercinta. Sumpah itu telah menjelma menjadi suatu pernyataan sikap dan penyerahan diri secara total kepada bangsa dan Tanah Air. Sejak sumpah itu, saya selalu berdoa semoga Allah memberi umur panjang dan sisa umur saya Insya Allah akan saya serahkan sepenuhnya untuk berbakti kepada Ibu Pertiwi. Sebab semua itu adalah karunia Allah.
Sumpah ini telah membuat saya bekerja siang dan malam. Bekerja tanpa mengenal waktu untuk bangsa dan negara. Mempersembahkan karya teknologi dan puncaknya adalah pesawat N-250 yang diakui dunia sebagai karya besar. Sebuah pesawat yang tercanggih di kelasnya dan diberi nama “Gatotkaca”.”