Mamalia yang terancam punah dan dianggap telah punah di Australia sejak zaman es terakhir mungkin masih ada di sana, demikian dilaporkan sebuah penelitian terbaru. Spekulasi itu muncul dari penemuan bahwa setidaknya satu landak semut (ekidna) berparuh panjang, mamalia bertelur yang diperkirakan hanya ada di Papua, ditemukan di Australia pada 1901 dan baru-baru ini penduduk Aborigin asli melaporkan melihat hewan tersebut. Spesimen yang ditemukan pada 1901, yang dipaparkan dalam jurnal “ZooKeys” edisi 28 Desember, telah lama berbaring dan terlupakan di Natural History Museum di London.
"Hal yang menakjubkan tentang penelitian ini adalah semuanya bergantung pada spesimen tunggal, dan itu adalah spesimen yang sangat terdokumentasi yang dikumpulkan pada 1901 di Australia, butuh waktu sampai 2013 untuk saya dan tim benar-benar menghidupkan spesimen dari lemari Natural History Museum di London," menurut salah satu penulis peneliti Kristofer Helgen, ahli ilmu hewan di Smithsonian Institution di Washington, DC.
Mamalia primitif
Monotreme, yang meliputi mamalia kecil aneh seperti duckbill platypus, bertelur seperti reptil tapi menyusui bayi mereka. Mereka mungkin telah menyimpang dari semua mamalia lain sejak era Periode Trias, yang berlangsung pada sekitar 248,000,000 hingga 206.000.000 tahun yang lalu. Meskipun ekidna berparuh pendek dan duckbill platypus masih hidup di Australia, ekidna berparuh panjang, monotreme terbesar di dunia, diperkirakan hanya hidup di hutan hujan Papua. Makhluk misterius itu, yang dapat memiliki bobot sampai 9 kg, terdaftar sebagai hewan yang sangat terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature.
Terlupakan di lemari museum
Para ilmuwan tahu makhluk malam berduri itu pernah hidup Australia, tapi menyimpulkan mereka punah setelah zaman es terakhir, antara 30-40 ribu tahun yang lalu, ketika Papua dan Australia masih tergabung dalam satu benua, tutur Helgen. Helgen mengatakan dia mengunjungi Natural History Museum di London untuk melihat koleksi di museum tersebut ketika dia kebetulan melihat seekor ekidna berparuh panjang yang ditandai dengan nama spesies dan tempat dia ditemukan. Ternyata pada 1901, seorang ilmuwan Australia bernama John Tunney menembak ekidna itu di Gunung Anderson, sebuah gunung yang luas, kering dan jarang penduduknya di barat laut Australia, saat melakukan ekspedisi untuk kolektor Inggris. Tunney, yang terlatih dalam taksidermi, mengirimkan spesimen tersebut, yang kemudian diwariskan ke Natural History Museum. Di sana hewan itu berbaring dan terlupakan selama satu abad.
Setelah mereka menyadari ekidna tersebut ada dalam sejarah, tim menandatangi masyarakat Aborigin di wilayah Kimberley Barat. Beberapa wanita ingat menonton orangtua mereka berburu ekidna berparuh panjang.
"Mereka ingat bahwa dulu ada ekidna di daerah tersebut yang jauh lebih besar, dan mereka menunjuk ke gambar ekidna berparuh panjang modern dari Papua," kata Helgen kepada LiveScience.
Apakah masih ada?
Temuan baru ini meningkatkan kemungkinan bahwa ekidna berparuh panjang masih ada di Australia, dan para ilmuwan harus memimpin sebuah ekspedisi untuk menemukannya, tutur Helgen. Namun, makhluk yang terancam punah itu sulit untuk ditemukan bahkan di Papua. Mereka berani keluar pada malam hari, menghindari manusia dan meringkuk menjadi duri dan seperti bola saat mengendus bahaya, katanya. Penemuan tersebut tidak hanya menunjuk pada pentingnya menjaga koleksi museum, hal itu secara radikal mengubah gambaran tentang ekidna berparuh panjang, tutur Christopher Norris, spesialis museum di Yale Peabody Museum of Natural History, yang tidak terlibat dalam penelitian. Hutan hujan Papua tempat ekidna berparuh panjang biasanya terlihat memiliki lanskap yang berbeda dari Kimberley yang kering dan penuh bebatuan, tutur Norris kepada LiveScience.
"Itu menjungkirbalikkan ide-ide kami tentang bagaimana kehidupan hewan spesial ini," katanya.